Selasa, 22 April 2014

Pengertian Kelas Maya

        Pengertian Kelas Maya (Virtual Class)

Kelas Maya, atau Kelas Virtual (virtual class) adalah sebuah lingkungan belajar berbasis Web yang:

·         memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi khususnya jejaring pembelajaran sosial (social learning network), untuk pemelajaran dan manajemen kelas, dan

·         memuat konten-konten digital yang dapat diakses dan dipertukarkan di mana saja, dari mana saja, dan kapan saja.



Keuntungan
Kemampuan teknologi informasi pada proses belajar-mengajar terletak pada storage system, manipulasi pesan dengan berbagai teknik multimedia yang lebih menarik, pengolahan data yang lebih akurat, kecepatan transmisi data serta kemudahan akses. Jika kemampuan tersebut dapat dimanfaatkan secara tepat dan bijak maka ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari kelas maya.
Materi lebih luas. Belajar bisa di mana saja dan kapan saja merupakan salah satu manfaat terbesar dari kelas maya. Implikasinya adalah cakupan materi kuliah bisa lebih luas, tidak sebatas materi yang diajarkan oleh Dosen di ruang kelas. Target materi yang tertuang dalam Satuan Acara Perkuliahan (SAP) kadang terlalu banyak dan membebani dosen jika semuanya harus dijejali ke mahasiswa di kelas saja. Apalagi jika dosennya sering mangkir di kelas. Cakupan materi pun makin menciut lagi. Kita bisa terbiasa dengan perkataan dosen, “Catatan saya bisa diunduh di blog pribadi saya ya”. Kondisi tersebut semoga tidak menjadi alasan mahasiswa atau dosen untuk mangkir dari perkuliahan, biarpun mahasiswa mungkin bisa memperoleh lebih banyak pengetahuan di luar kelas.
Belajar sambil “sarungan”. Modus atau cara belajarnya pun bisa lebih bebas tidak seperti di kelas yang mungkin masih dikendalikan oleh dosen, termasuk cara berpakaian atau bahkan sekedar mengenalkan etika dan sopan santun menurut petunjuk dari Pak Dosen. Belajar di kelas maya memungkinkan kita belajar sambil “sarungan” atau bahkan tidak perlu mandi dan gosok gigi terlebih dahulu. Jika menggunakan mode “synchronous”- yaitu ketika dosen dan mahasiswa serentak masuk ke sistem virtual-class dalam kurun waktu yang sama- dosen pun tidak tahu seandainya mahasiswa malah belum berpakaian ketika terlibat dalam forum diskusi online.
Tidak perlu bawa buku. Mahasiswa jaman sekarang mungkin tidak memerlukan buku-buku tebal. E-book, file presentasi, dan berbagai format elektronik dari bahan ajar tinggal disimpan dalam media seperti “flashdisk”, atau bahkan cuma diakses melalui internet. Tak perlu khawatir ketinggalan buku atau diktat kuliah. Semuanya tinggal pijit tombol komputer, atau bahkan dengan mobile device, beratus-ratus lembar e-book bisa dibaca sambil menunggu antrian atau kemacetan di jalan.
Peduli global warming. Karena semua materi kuliah terdokumentasi secara elektronik maka kita tidak memerlukan kertas lagi. Kita tidak perlu menyalin cacatan dosen di papan tulis atau memotokopi diktat kuliah. Semuanya serba paperless. Lumayan bisa mengurangi penebangan hutan. Apalagi jika menggunakan komputer yang hemat energi juga.
Lebih berani protes. Jika di kelas mahasiswa- dengan segala alasannya, mungkin lebih pasif maka di kelas maya bisa lebih aktif berdiskusi tanpa terganggu dengan sorot mata dosen dan teman-temannya di kelas. Malah, dibalik anonim atau nama alias, mahasiswa bisa lebih berani berdebat dan menyampakan kritik tanpa harus khawatir “ditandai” oleh Dosen. Setidaknya, kelas maya memberikan opsi untuk penerapan “student centered learning”.
Mendeteksi “Copas”. Menulis di internet secara terbuka, atau disebut sebagai kebijakan “open content”, sebenarnya bisa digunakan untuk mendeteksi hasil karya mahasiswa- dan sebenarnya dosen juga, apakah tulisannya merupakan hasil menjiplak atau bukan. Masyarakat bisa menemukan dan menjadi juri terhadap praktek plagiat- atau sering disebut budaya “copy-paste” atau “copas”. Kebijakan ini harus disertasi sosialisasi, - bisa juga “menakuti-nakuti”, agar jangan sampai mereka melakukan “copas” karena tulisannya dibaca oleh orang banyak. Jika tugas atau tulisan hanya dikumpulkan di laci atau lemari, kita relatif sulit mendeteksi bahwa tulisan tersebut hasil “copas”.
Tantangan
Namun teknologi informasi bukan jamu mujarab untuk semua penyakit. Bukan pula peluru emas yang bisa memusnahkan semua masalah. Mereka layaknya seperti dua sisi mata uang, ada sisi positif dan sisi negatif. Mana yang dipilih? Tergantung penggunanya masing-masing. Mereka cuma sekedar alat, atau pakar bilang, “enabler”. Semuanya tetap tergantung pada “The man behind the gun”. Jadi ada beberapa tantangan yang harus disikapi dengan tepat.
Disiplin. Tantangan terbesar bagi mahasiswa adalah seberapa disiplinnya mereka memanfaatkan waktu di dunia maya. Jika daya tarik berselancar di dunia maya tidak diimbangi upaya memanfaatkannya untuk belajar maka mahasiswa bisa terjebak hanya sebagai penggembira di dunia maya. Dunia maya pun hanya sekedar gaya hidup yang tidak bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Tidak tergantikan. Peran dosen tetap diperlukan, minimal dalam memfasilitasi atau sebagai administrator dalam Virtual-Class. Apalagi dosen favorit yang menjadi idaman mahasiswa atau mahasiswi. Beberapa materi kuliah pun tetap memerlukan peran dosen dalam proses belajar-mengajar, misalnya yang memerlukan penjelasan teknis atau praktek di lapangan.
Godaan “Copas”. Walaupun kebijakan “open content” dapat digunakan untuk mendeteksi “copas”, namun godaan untuk melakukannya tetap ada. Dengan alasan “kepepet”, “menggampangkan”, atau “tidak mau susah”, mahasiswa- serta dosen juga, bisa terjerumus kepada praktek plagiat. Walaupun sudah sering didengungkan bahwa plagiat di dunia pendidikan adalah “dosa besar”, fenomena plagiat tetap menjadi salah satu keprihatinan, yang justru semakin marak karena kehadiran dunia maya.
Kesenjangan Digital. Akses ke dunia maya belum tentu dirasakan oleh semua orang di semua daerah. Selalu ada keterbatasan suatu komunitas atau sebuah wilayah untuk mengakses internet. Perbedaan akses tersebut bisa disebabkan oleh infrastruktur telekomunikasi yang lemah, atau karena kemampuan penguasaan teknologi yang terbatas.
Resistensi. Kadang budaya penggunaan teknologi bisa menyebabkan kegagalan penerapan teknologi informasi. Selalu ada resistensi atau penolakan dalam penerapan teknologi informasi. Memang perlu ada sosialisasi tentang manfaat- termasuk dampak negatifnya, dari teknologi informasi. Selanjutnya biarkanlah kita memilih dan menggunakan teknologi, dengan segala resikonya.






follow me in Twitter Devia N <= (Just Klik)
add me in Facebook Devia N <= (Just Klik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar