Pengertian Kelas Maya (Virtual Class)
Kelas Maya, atau Kelas Virtual (virtual class) adalah sebuah lingkungan belajar berbasis
Web yang:
·
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi khususnya jejaring pembelajaran sosial (social learning network), untuk pemelajaran dan manajemen
kelas, dan
·
memuat konten-konten digital yang dapat diakses dan
dipertukarkan di mana
saja, dari mana saja, dan kapan saja.
Keuntungan
Kemampuan teknologi informasi pada proses belajar-mengajar
terletak pada storage system, manipulasi pesan dengan berbagai teknik
multimedia yang lebih menarik, pengolahan data yang lebih akurat, kecepatan
transmisi data serta kemudahan akses. Jika kemampuan tersebut dapat
dimanfaatkan secara tepat dan bijak maka ada beberapa keuntungan yang dapat
diperoleh dari kelas maya.
Materi lebih luas.
Belajar bisa di mana saja dan kapan saja merupakan salah satu manfaat terbesar
dari kelas maya. Implikasinya adalah cakupan materi kuliah bisa lebih luas,
tidak sebatas materi yang diajarkan oleh Dosen di ruang kelas. Target materi
yang tertuang dalam Satuan Acara Perkuliahan (SAP) kadang terlalu banyak dan
membebani dosen jika semuanya harus dijejali ke mahasiswa di kelas saja.
Apalagi jika dosennya sering mangkir di kelas. Cakupan materi pun makin menciut
lagi. Kita bisa terbiasa dengan perkataan dosen, “Catatan saya bisa diunduh di
blog pribadi saya ya”. Kondisi tersebut semoga tidak menjadi alasan mahasiswa
atau dosen untuk mangkir dari perkuliahan, biarpun mahasiswa mungkin bisa
memperoleh lebih banyak pengetahuan di luar kelas.
Belajar sambil “sarungan”. Modus atau cara belajarnya pun bisa lebih bebas tidak seperti di
kelas yang mungkin masih dikendalikan oleh dosen, termasuk cara berpakaian atau
bahkan sekedar mengenalkan etika dan sopan santun menurut petunjuk dari Pak
Dosen. Belajar di kelas maya memungkinkan kita belajar sambil “sarungan” atau
bahkan tidak perlu mandi dan gosok gigi terlebih dahulu. Jika menggunakan mode
“synchronous”- yaitu ketika dosen dan mahasiswa serentak masuk ke sistem virtual-class
dalam kurun waktu yang sama- dosen pun tidak tahu seandainya mahasiswa malah
belum berpakaian ketika terlibat dalam forum diskusi online.
Tidak perlu bawa buku. Mahasiswa jaman sekarang mungkin tidak memerlukan buku-buku tebal.
E-book, file presentasi, dan berbagai format elektronik dari bahan ajar tinggal
disimpan dalam media seperti “flashdisk”, atau bahkan cuma diakses melalui
internet. Tak perlu khawatir ketinggalan buku atau diktat kuliah. Semuanya
tinggal pijit tombol komputer, atau bahkan dengan mobile device,
beratus-ratus lembar e-book bisa dibaca sambil menunggu antrian atau
kemacetan di jalan.
Peduli global warming. Karena semua materi kuliah terdokumentasi secara elektronik maka
kita tidak memerlukan kertas lagi. Kita tidak perlu menyalin cacatan dosen di
papan tulis atau memotokopi diktat kuliah. Semuanya serba paperless. Lumayan
bisa mengurangi penebangan hutan. Apalagi jika menggunakan komputer yang hemat
energi juga.
Lebih berani protes. Jika di kelas mahasiswa- dengan segala alasannya, mungkin lebih
pasif maka di kelas maya bisa lebih aktif berdiskusi tanpa terganggu dengan
sorot mata dosen dan teman-temannya di kelas. Malah, dibalik anonim atau nama
alias, mahasiswa bisa lebih berani berdebat dan menyampakan kritik tanpa harus
khawatir “ditandai” oleh Dosen. Setidaknya, kelas maya memberikan opsi untuk
penerapan “student centered learning”.
Mendeteksi “Copas”.
Menulis di internet secara terbuka, atau disebut sebagai kebijakan “open
content”, sebenarnya bisa digunakan untuk mendeteksi hasil karya mahasiswa- dan
sebenarnya dosen juga, apakah tulisannya merupakan hasil menjiplak atau bukan.
Masyarakat bisa menemukan dan menjadi juri terhadap praktek plagiat- atau
sering disebut budaya “copy-paste” atau “copas”. Kebijakan ini harus disertasi
sosialisasi, - bisa juga “menakuti-nakuti”, agar jangan sampai mereka melakukan
“copas” karena tulisannya dibaca oleh orang banyak. Jika tugas atau tulisan
hanya dikumpulkan di laci atau lemari, kita relatif sulit mendeteksi bahwa
tulisan tersebut hasil “copas”.
Tantangan
Namun teknologi informasi bukan jamu mujarab untuk semua
penyakit. Bukan pula peluru emas yang bisa memusnahkan semua masalah. Mereka
layaknya seperti dua sisi mata uang, ada sisi positif dan sisi negatif. Mana
yang dipilih? Tergantung penggunanya masing-masing. Mereka cuma sekedar alat,
atau pakar bilang, “enabler”. Semuanya tetap tergantung pada “The man behind
the gun”. Jadi ada beberapa tantangan yang harus disikapi dengan tepat.
Disiplin.
Tantangan terbesar bagi mahasiswa adalah seberapa disiplinnya mereka
memanfaatkan waktu di dunia maya. Jika daya tarik berselancar di dunia maya
tidak diimbangi upaya memanfaatkannya untuk belajar maka mahasiswa bisa
terjebak hanya sebagai penggembira di dunia maya. Dunia maya pun hanya sekedar
gaya hidup yang tidak bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Tidak tergantikan.
Peran dosen tetap diperlukan, minimal dalam memfasilitasi atau sebagai
administrator dalam Virtual-Class. Apalagi dosen favorit yang menjadi
idaman mahasiswa atau mahasiswi. Beberapa materi kuliah pun tetap memerlukan
peran dosen dalam proses belajar-mengajar, misalnya yang memerlukan penjelasan
teknis atau praktek di lapangan.
Godaan “Copas”.
Walaupun kebijakan “open content” dapat digunakan untuk mendeteksi “copas”,
namun godaan untuk melakukannya tetap ada. Dengan alasan “kepepet”,
“menggampangkan”, atau “tidak mau susah”, mahasiswa- serta dosen juga, bisa
terjerumus kepada praktek plagiat. Walaupun sudah sering didengungkan bahwa
plagiat di dunia pendidikan adalah “dosa besar”, fenomena plagiat tetap menjadi
salah satu keprihatinan, yang justru semakin marak karena kehadiran dunia maya.
Kesenjangan Digital. Akses ke dunia maya belum tentu dirasakan oleh semua orang di
semua daerah. Selalu ada keterbatasan suatu komunitas atau sebuah wilayah untuk
mengakses internet. Perbedaan akses tersebut bisa disebabkan oleh infrastruktur
telekomunikasi yang lemah, atau karena kemampuan penguasaan teknologi yang
terbatas.
Resistensi. Kadang
budaya penggunaan teknologi bisa menyebabkan kegagalan penerapan teknologi
informasi. Selalu ada resistensi atau penolakan dalam penerapan teknologi
informasi. Memang perlu ada sosialisasi tentang manfaat- termasuk dampak
negatifnya, dari teknologi informasi. Selanjutnya biarkanlah kita memilih dan
menggunakan teknologi, dengan segala resikonya.
follow me in Twitter Devia N <= (Just Klik)
add me in Facebook Devia N <= (Just Klik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar